Berita

Pemimpin yang Beretika (Seputar Monas) Oleh: Syafran Sofyan , SH, SpN, MHum

Rabu, 09 Agustus 2017 Pkl. 13:36 WIB

Pemimpin yang Beretika (Seputar Monas) Oleh: Syafran Sofyan , SH, SpN, MHum

 

Pemimpin yang Beretika (Seputar Monas)

Oleh: Syafran Sofyan , SH, SpN, MHum

Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI

 

Kita sepakat bahwa Monas (Monumen nasional) berada di titik sentral Ibu Kota Negara kita, yakni DKI Jakarta, yang merupakan kota impian bagi kalangan umat di Indonesia, tidak perduli apakah ia Politisi, Birokrasi, TNI/Polri, Pelajar, Mahasiswa, sampe orang-orang yang tidak ada pekerjaan, masyarakat luas semua ingin mengadu nasib di Jakarta. Berapa banyak setiap tahun penduduk Jakarta bertambah, khususnya setelah lebaran idul fitri, yang dikenal dengan mudik lebaran, begitupun pada waktu siang hari, penduduk Jakarta hampir dua kali pada waktu malam hari, banyak penduduk sekitar Jakarta/Jabodetabek, yang mengadu nasib di ibu kota, yang mana kota mega politan yang tidak pernah mati siang dan malam, termasuk hiruk pikuknya, dari kemacetan, banjir, demo, sebagian numplek di Jakarta, khususnya monas dan sekitarnya. Apa sih, daya tarik monas? Pertama monas merupakan kebanggaan warga Jakarta, juga Indonesia, walaupun penduduk Indonesia, Jakarta sendiri banyak yang belum perna naik ke monas. Disana pula terdapat museum perjuang yang penuh nilai-nilai sejarah, kata Bung Karno Jasmerah, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah, karena di dalam sejarah penuh nilai-nilai perjuangan, yang akan menumbuhkan rasa patriotisme, dan nasionalisme, yang harus diwariskan kepada generasi muda, yang mana akhir-akhir ini, sudah agak langkah di Indonesia. Kedua, dekat dengan Istana Negara, istilah orang ring satu, maka itu, monas dan sekitarnya tidak pernah sepih, khususnya para mahasiswa, buruh, masyarakat, yang mau menumpahkan unek-uneknya, maupun protes terhadap nasib mereka, kebijakan pemerintah, dan juga banyak yang menuntut keadilan, penegakan hukum dan lain sebagainya. Sehingga tidak jarang daerah tersebut selalu ramai dan macet dipenuhi oleh para pendemo.  Dan yang akhir-akhir ini, monas mulai ramai lagi, bahkan macet sekali, dengan diuji coba kembali diadakan Jakarta fair, dalam rangkah memperingati hari ulang tahun Jakarta, yang sudah lama tidak diperingati di monas (terakhir tahun 1986) diadakan di Monas. Untuk menyikapi itu semua, kita perlu pemimpin yang peduli terhadap nasib rakyat, yang mempunyai visi, misi yang jelas, jujur dan amanah, dan mempunyai etika politik yang baik.

 

Etika Politik.

Sepak terjang para politisi di negeri ini membuat banyak orang muak. Politik telah identik dengan kekotoran, penuh tipu muslihat, dan tidak manusiawi. Saling menyikut dan menjegal merupakan kemestian, bahkan kepada teman sendiri, sesama Partai Politik.  Korupsi merajalela, hingga ke batas yang membuat banyak orang tak lagi percaya bahwa masih ada kejujuran di dunia politik. Ini sejalan dengan ungkapan Lord Acton bahwa “power tends to corrupt”, yang memberi gambaran bagaimana kekuasaan itu cenderung diselewengkan, disalahgunakan, serta dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu.

Untuk itulah seharusnya dalam berpolitik kita  menggunakan etika. Etika dan politik seharusnya berjalan seiring, karena keduanya menjadi penentu kebahagiaan hidup umat manusia. Immanuel Kant menegaskan bahwa meskipun harus cerdik seperti ular, seorang politisi juga harus tulus sepertimerpati. Pada akhirnya merpati yang akan menang, karena dia tidak pernah bisa beristirahat sedetik pun disebabkan matanya yang selalu awas terhadap kehadiran ular.

Menghadapi tahun politik saat ini, dimana kesibukan elit partai politik, semakin sibuk, sampai-sampai melupakan pekerjaan utamanya yakni menjalankan roda pemerintahan; bagaimana para wakil rakyat di DPR ribut sendiri, saling hujat, seolah-olah hanya partai, kelompoknya yang benar, dan hal tersebut menjadi tontonan setiap hari. Begitupun, kalau kita menyaksikan di televisi, setiap hari pejabat penyelenggara Negara di panggil di KPK, Gedung Bundar Kejaksaan Agung, maupun di pengadilan, silih berganti. Pemimpin kita justru kadang tidak ada di tempat ketika ada kasus-kasus yang menurut akal sehat masyarakat, seharusnya butuh intervensi langsung, Misalnya, dalam kasus TKI yang telah mencoreng kehormatan bangsa, pembakaran KJRI di Jeddah, kasus pelanggaran kedaulatan negara yang berkali-kali dilakukan Malaysia, kasus-kasus korupsi yang tak jua tuntas, atau kasus penguasaan pihak asing atas kekayaan Negara, kalaupun dating sudah terlambat, jadi jangan sampai pemimpin tersebut seperti alat pemadam kebakaran. Sebaliknya, sang pemimpin malah sering melakukan jumpa pers mendadak untuk kasus-kasus yang menerpa dirinya, keluarganya, dan partainya.

Di sinilah etika politik memainkan peranannya. Politisi yang beretika akan mampu memilah, mana urusan yang seharusnya menjadi prioritas, mana yang tidak. Etika ini perlu ditegaskan dan diatur dalam bentuk undang-undang. Kedepan agar Undang-Undang kepartaian atau pejabat pemerintah sudah selayaknya ditinjau ulang. Para pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah—terutama Presiden— mesti melepaskan atribut kepartaiannya secara formal maupun moral, demi menjadikan mereka lebih netral dalam mengurus negara, agar tidak terjadi konflik kepentingan di antara keduanya.

Jika etika politik tidak diatur secara formal, semua politisi akan beretika semaunya sendiri. Akibatnya, kita melihat hari ini bahwa partai politik yang semestinya bisa menjadi pilar demokrasi, justru menjadi bagian dari kekuatan negara, kekuatan pasar, dan ajang perebutan kekuasaan.

Tahun 2013 ini, katanya tahun politik, karena sebentar lagi kita akan memasuki Pesta demokrasi pada tahun 2014, memang di Indonesiapesta demokrasi lima tahun sekali yang bersekala nasional, dimana partai politik yang telah lolos diverifikasi KPU, ada 10 partai politik, dan disetujui 2 partai politik lagi, sehingga menjadi 12 parpol yang ikut pesta demokrasi  secara nasional yang menambah maraknya dunia politik  dan semakin menggeliat, semakin ramai, baik dalam persiapan caleg legislatif, di tingkat pusat, maupun daerah, dan juga persiapan pilkada, masing-masing berjuang untuk memenangkan perlombaan dan merebut hati rakyat, dengan mendapat simpatik rakyat sebesar-besarnya. Kalo Partai politik seperti itu, saya kira kita semua sependapat tidak ada masalah, tapi bagi kalangan birokrat, apakah ia Bupati, walikota, Gubernur, Menteri, sampai ke pejabat tinggi Negara lainnya, agar tetaplah fokus pada pekerjaannya, seperti himbauan Presiden RI, Bapak SBY, beberapa hari yang lalu. Tapi kenyataannya, sangatlah sulit untuk dihindari, hal seperti itu, ditambah lagi tidak ada larangan yang tegas, apalagi sanksi, terhadap penyelenggara Negara yang mbalelo, ikut kampanye Pilkada, atau lebih banyak konsentrasi di partai, dari pada memikirkan rakyat, melalui program-program yang baik, bermanfaat. Ingat, harga-harga kebutuhan pokok saat ini sudah merangkak naik, daging sapi, bahkan bawang merah mencapai 300%, diikuti harga kebutuhan pokok lainnya, belum lagi sebentar lagi harga BBM juga ikut naik, yang tentunya akan diikuti kenaikan kebutuhan pokok kembali, walaupun nantinya rakyat miskin diberi BLSM, akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu juga diawasi, agar tidak menjadi ajang kampanye/pencitraan, atau salah sasaran. Cobalah kedepan sistem politik kita agar dapat di review kembali, karena dengan sistem yang transaksional saat ini, mustahil para pemimpin, 100% bekerja untuk kesejahteraan rakyat? Hampir separoh Kepalah Daerah tersangkut masalah hukum, bahkan sebagian telah terpidana. Kenapa demikian? Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain:

  1. Sistem Politik kita saat ini, dengan biaya yang sangat besar (transaksional), diluar kemampuan sang calon, dan ini akan memicu, terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah.
  2. Sistem Hukum kita sendiri, yang belum efektif, dan berjalan dengan baik. Menurut Teori Friedman, ada tiga hal dalam penegakan hukum yang efektif, dan harus bersinergi, adalah Substansi Hukum, Struktur/aparatur hukum, dan Budaya hukum, haruslah bersinergi, dan aparatur hukum hendaklah mandiri, tidak dicampur aduk dengan lembaga politik, apalagi mendapat pengaruh/tekanan politik, atau kekuasaan.
  3. Mayarakat kita yang pada umumnya, tingkat ekonomi, dan pendidik yang masih rendah, jadi belum mampu mandiri, dan mengakses para calon pemimpin dengan baik, serta pendidikan politik, yang mestinya kewajiban utama partai politik, tidak jalan.
  4. Perlu pengaturan, peran media/pers yang independen, tranparan, dan berkeadilan. Pers, di era demokrasi ini perannya, sangat besar, dapat membuat seseorang yang tidak/kurang baik menjadi baik, atau sebaliknya, dan sangat mendukung sekali dalam menginformasikan terhadap semua hal, baik itu yang baik, atau yang buruk. Namun khusus buat media politik, kedepan agar perlu diatur dengan jelas, tegas, dan berkeadilan, agar adanya keseimbangan terhadap semua pemimpin.

 

Untuk itulah kita sangat berharap kedepan, agar diperoleh pemimpin yang negarawan, beretika, dan bekerja hanya untuk kepentingan bangsa dan Negara, untuk itulah mutlak diperlukan pendidikan politik kepada masyarakat, agar betul-betul dapat memilih pemimpin yang baik, bukan sebaliknya.

Di dalam Konstitusi kita sudah dijelaskan, bahwa Negara kita adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Th 1945), bukan Negara politik/kekuasaan. Dan Negara kita adalah Negara kesatuan, bukan Negara kerajaan, mestinya baik di daerah, maupun pusat, haruslah di hilangkan adanya kesan raja-raja kecil, dan siapapun yang bersalah harus di hokum sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, tanpa tebang pilih, dan hokum tidak seperti pisau, yang hanya tajam kebawah, tapi tumpul keatas. Pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan mala minta dilayani oleh masyarakat, dan fungsi pemimpin bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti yang telah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan sejahtera.

 

Penutup.

Sepanjang Nilai-Nilai kebangsaan dapat menjadi pegangan, dan kita pedomani, serta laksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya dalam Era Demokrasi yang sangat terbuka dan kompleks ini, termasuk kondisi saat ini dengan segala permasalahannya, Insya Allah, semua dapat kita lewati dengan baik, dan masyarakat kita  akan menjadi aman dan tentram.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kalangan Generasi Muda, para pemuda, yang merupakan generasi penerus bangsa, juga kepada para guru, dosen,pendidik, Partai Politik, dan Tenaga Ahli, Profesional di Lemhannas RI, yang merupakan ujung tombak dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, juga para Pengusaha, Pejabat Negara, pemimpin di negeri ini,juga sebagai warga Negara haruslah tetap mengacu kepada konsessus dasar bangsa, yakni memiliki kesetiaan terhadap bangsa dan Negara, yang meliputi kesetiaan terhadap ideologi Negara, kesetiaan terhadap konstitusi, kesetiaan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kesetiaan terhadap kebijakan pemerintah, serta selalu memegang teguh etika profesionalisme dan selalu menggali nilai-nilai yang tumbuh dan hidup di masyarakat, agar dalam pencapaian maksud tersebut dapat optimal.

Oleh sebab itu maka setiap warga Negara harus dan wajib untuk memiliki prilaku positif terhadap pemimpin,seorang pemimpin yang mempunyai etika politik yang baik, dengan tidak menghalalkan segalah cara, agar betul-betul dapat terpilih pemimpin yang amanah, jujur dan berintegritas. Untuk itulah didalam mencerdaskan kehidupan bangsa, kita semua hendaklah memiliki wawasan kebangsaan, dan berjiwa nasionalisme, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

 

 

 


Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI, Dosen /Nara Sumber di Kemhan RI (Suspim manajemen), Dosen Pasca sarjana Hukum  dan Magister Kenotariatan, Nara Sumber di Jimly School at Law & Government, Pendiri/Ketua ISHI(Ikatan sarjana Hukum Indonesia),Saksi Ahli di Pengadilan, mahasiswa S3 Public Policy/Kebijakan Publik UGM.