Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 dan Sikap Notaris. Oleh Syafran Sofyan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013
dan Sikap Notaris. Syafran Sofyan
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris.
Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dlm bentuk yg ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat umum yg berwenang unt itu di tempat akta itu dibuat.
Ps 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adl alat pembuktian yg sempurna bagi kedua pihak & AW,sekalian org yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan kpd pihak-pihak suatu pembuktian yg mutlak.
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:
- Kekuatn pembuktian lahiriah; akta itu sendiri memp kekuatan unt membuktikan dirinya sendiri sbg akta otentik,krn kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yg mengaturnya;
- Kekuatan pembuktian formil; apa yg dinyatakan dlm akta tsb adl benar.
- Kekuatan pembuktian materil;memb kepastian thd peristiwa,apa yg diterangkan dlm akta itu benar.
Apa artinya terhadap hal tersebut diatas?
Bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik, karena diberi kewenangan oleh Undang-Undang, dan sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak, ahli waris, maupun sekalian orang yang mendapatkan hak dari akta tersebut. Siapa saja yang menyangkal terhadap kebenaran dari akta otentik tersebut, maka pihak yang menyangkal tersebutlah yang membuktikannya, termasuk pihak penyidik. Kalau begitu, buat apa notaris dipanggil, atau diminta sebagai saksi? Apalagi, para pihak yang menyangkal tersebut belum membuktikannya? Saya kerap kali dalam memberi kuliah di Bareskrim Mabes Polri, atau Ceramah/Seminar tentang Perlindungan Profesi Notaris, yang mana tidak hanya melibatkan notaris, MPD, juga para penyidik, Direskrim di Polda-Polda, bahwa Notaris, bukanlah pihak dalam suatu akta, jangan sampai kalau ada para pihak yang berperkara, lantas notaris yang dipanggil? Kalau begitu bisa setiap bulan, minggu, bahkan setiap hari, setiap saat notaris dipanggil penyidik; bahkan dari laporan di daerah, penyidik, memanggil notaries dengan hanya menelpon, dan saya dengar, kasus-kasus lama mau dibuka kembali, walaupun sebelumnya sudah ditolak oleh MPD. Untuk itu dapat ,saya beri contoh, kalau ada 2 (dua) orang pengendara mobil kecelakaan, mau tidak polisi dipersalahkan? Karena polisi yang membuat SIM, kedua pengendara tersebut. Jawab polisi, kenapa dipanggil, kan tidak ada hubungannya, dengan pembuatan SIM? Begitupun terhadap akta notaris, tidak ada/belum tentu ada hubungannya antara akta dengan orang/pihak yang berperkara. Untuk itulah, mengingat jabatan notaris sebagai pembuat akta otentik, dilindungi oleh undang-undang, khususnya kalau ada dugaan dari para pihak terhadap kebenaran akta otentik tersebut, perlu suatu badan/Majelis untuk menilai dari kebenaran akta otentik tersebut, maka dibentuklah Majelis Pengawas Daerah notaris (MPD).
Dalam pasal 1868 KUHPerdata, Notaris dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004; Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedur yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan). Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik, kecuali kalau Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum….”
Jadi alasan MK yang menyatakan pasal 66 ayat 1 khususnya wajib dengan persetujuan MPD, tidak adanya persamaan didepan hukum, menurut pendapat saya tidak beralasan, juga yang menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi, sama sekali tidak berdasar, justru dengan dihilangkannya frase kalimat tersebut, sangat rentan notaris melanggar hak-hak orang lain, yakni membongkar rasasia jabatan, yang mana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, tentang rahasia jabatan.
Karena Notaris sebelum menjalankan jabatannya wajib disumpah, antara lain wajib merahasiakan semua akta yang dibuatnya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 16 ayat 1e UUJN, kecuali undang-undang menentukan lain. Apa artinya ini? Notaris di dalam menjalankan jabatannya haruslah selalu menjaga rahasia akta yang dibuatnya, termasuk keterangan-keterangan yang diminta oleh pihak lain/pihak ketiga, termasuk oleh penyidik, kecuali UU menentukan lain.
Sepanjang tidak ada payung hukum, atau undang-undang yang membolehkan, misalnya persetujuan MPD, maka ada kemungkinan yang bersangkutan (notaris) dapat digugat oleh para pihak yang berkepentingan langsung/ yang dirugikan, karena Notaris melanggar sumpah jabatan itu dikenakan sanksi pasal 84 yakni bisa dituntut oleh klien pembuat akta, dengan adanya MPD itu nanti akan diseleksi (diuji) sebelum memberikan keterangan ke penyidik.
Apabila notaris melakukan pelanggaran, UU tidak memerintahkannya,maka atas pengaduan pihak yg dirugikan, pihak yang berwajib dapat mengambil tindakan terhadap notaris tersebut. Ini seperti yang tercantum pula dalam pasal 22 ayat 1 dan2 KHUP mengenai ketentuan membongkar rahasia.
Dengan dicabutnya pasal 66 ayat 1, khususnya pada frasa tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari MPD, juga terkait tidak berlakunya lagi ketentuan dalam ps.14 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT.0310.TH 2007 yang mengatur tentang hal yang sama.
Akibatnya tidak ada lagi payung hukum, perlindungan bagi notaris untuk memberikan penjelasan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim, sebab sebelum putusan MK tersebut, notaris dalam memberikan penjelasan, karena sudah mendapat persetujuan dari MPD, jadi gugatan membocorkan rahasia para pihak, ada payung hukumnya, yakni keputusan MPD.
Jadi sebenarnya Pasal 16 ayat 1 UUJN tersebut, tidaklah berdiri sendiri.
Sangatlah kita sayangkan, kenapa dalam memberikan pertimbangan dalam putusan MK tersebut, notaris, dan atau INI tidak dilibatkan untuk memberikan masukan?? Hal ini salah satu bentuk arogansi lembaga Hukum terhadap profesi notaris, apalagi putusannya bersifat final dan binding, serta buat Pengurus/pimpinan profesi (INI?IPPAT) juga haruslah introspeksi diri, karena jabatan yang diemban adalah amanah, dan kepercayaan, jadi haruslah berbuat bagi kepentingan anggota.
Hasil putusan ini dianggap sangat merugikan hak para Notaris dan semakin membebani tugas para Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam pembuatan akta-akta otentik. Dengan adanya putusan tersebut, maka banyak timbul kegelisahan dari para praktisi Notaris, karena dengan demikian Hak Istimewa untuk diperlakukan dan dilindungi dalam melaksanakan tugas dan jabatannya atas nama Negara menjadi hilang. Untuk itulah diminta kepada notaris agar berhati-hati dalam memberikan penjelasan, apakah ada payung hukum, atau undang-undang yang membolehkan? Kalau tidak sangat rentan digugat oleh para pihak, termasuk juga dalam menjalankan profesinya, agar lebih hati-hati, dan tetaplah berpedoman kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku, serta kode etik profesi.
Bagaimana kalau notaris dipanggil sebagai saksi akta, pasca putusan MK?
Sebenarnya Notaris tidak usah terlalu resah dengan di hapuskannya kewajiban untuk meminta persetujuan dari MPD terlebih dahulu sebelum dilakukannya pemeriksaan ataupun permintaan keterangan dari Notaris. Karena notaris masih memiliki Hak Istimewa berupa “Hak Ingkar”. Adanya Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.
Dalam kedudukan notaris sebagai saksi (perkara perdata) notaris dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk membuat kesaksian karena jabatannya menurut UU diwajibkan untuk merahasiakannya (Ps 1909 ay 3 BW). Dalam hal ini notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri notaris tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada notaris.
Untuk melihat akta notaris, notaris harus dinilai apa adanya, dan setiap orang harus dinilai benar berkata seperti yang disampaikan yang dituangkan dalam akta tersebut. Notaris dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal seperti yang disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan MA No.702K/Sip/1973. Notaris hanya berfungsi mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil hal-hal yang dikemukakan para penghadap notaris.
Sepanjang notaris menjalankan jabatan dan profesinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik notaris, dan asas-asas hukum, maka notaris tersebut tidak dapat dipersalahkan.(Syafran Sofyan). Termasuk untuk menjadi saksi, karena akta notaris tersebut sendiri merupakan akta otentik, yakni akta yang mempunyai kebenaran lahir, formil dan materil, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang menyangkalnya. Janganlah belum apa-apa, penyidik dengan gampangnya memanggil notaris, sementara para pihaknya saja belum dipanggil ?.
Ingat, notaris bukan pihak dalam akta, dan hal inilah yang harus kita jelaskan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim, seperti apa yang telah dicantumkan dalam UUJN, yang mana kedudukan notaris sangatlah kuat. Sebaliknya kalau Notaris dipanggil oleh penyidik maka tidak usalah takut, dan bukanlah sebuah kiamat. Hadapilah dengan baik, dan bila perlu minta perlindungan, atau bertanya kepada organisasi, atau ahlinya agar terhindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan, dan prosesnya dapat berjalan sesuai peraturan dan ketentuan yang ada.
Semoga dengan putusan MK tersebut, kita agar lebih berhati-hati lagi dalam membuat akta, dan selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi, dimanapun berada. Semoga bermanfaat.
Notaris-PPAT-Pejabat Lelang di Jakarta Selatan, Majelis Pengawas Daerah, Dosen : Lemhannas RI, Magister Kenotariatan, Pasca/S2 Hukum, Bareskrim Mabes Polri, Mabes TNI, Kemhan, Diklat Perbankan,Saksi Ahli.
Email: syafran.dosen@gmail.com Hp.08111986768.