Berita

Notaris “Openbare Amtbtenaren” Syafran Sofyan

Rabu, 09 Agustus 2017 Pkl. 13:32 WIB

Notaris “Openbare Amtbtenaren” Syafran Sofyan

Notaris “Openbare Amtbtenaren”

Syafran Sofyan

 

 

         Jabatan Notaris sesungguhnya menjadi bagian penting  dari negara Indonesia yang  menganut prinsip Negara hukum (Ps.1 ay.3 UUD NRI Th 1945). Dengan prinsip ini,  Negara menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, melalui alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Salah satu jaminan atas kepastian hukum yang  memberikan perlindungan hukum adalah   alat bukti yang terkuat dan terpenuh, dan mempunyai peranan penting berupa “akta otentik”.

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris.

Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dlm bentuk yg ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat umum yg berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Ps 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adl alat pembuktian yg sempurna bagi kedua pihak & AW,sekalian org yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan kpd pihak-pihak suatu pembuktian yg mutlak.

Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:

  1. Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yg mengaturnya;
  2. Kekuatan pembuktian formil; apa yg dinyatakan dlm akta tsb adl benar.
  3. Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd peristiwa,apa yg diterangkan dlm akta itu benar.

Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika ketentuan dalam  Wet op het Notarisambt  tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang berkaitan dengan keperdataan, yang dilindungi oleh UU.

Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah  Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.

Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris

Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S.

Lumban Tobing, op.cit., hlm. V.  Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain).  Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.

Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari  Ambtenaren  adalah Pejabat.  Dengan demikian  Openbare Ambtenaren  adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan  Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain istilah  Openbare  diterjemahkan sebagai Umum.

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri.

Berdasarkan pengertian di atas, bahwa Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.  Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan  (nonexecutable). Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :

a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka akta tersebut  merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku. 

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. Pasal 50 KUHP berbunyi : Tidaklah dapat dihukum, barang siapa melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan. 

Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.

Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat bukti, bila terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pihak yang bersengketa. Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :

1. bukti tulisan;

2. bukti dengan saksi-saksi;

3. persangkaan-persangkaan;

4. pengakuan;

5. sumpah

Pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera pada Pasal 1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap para Notaris adalah lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini dapat juga dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJN.  Notaris Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesiî.

 

Bagaimana kalau notaris dipanggil sebagai saksi akta?

Dalam kedudukan notaris sebagai saksi (perkara perdata) notaris  dapat minta dibebaskan dari kewajiban  untuk membuat kesaksian karena jabatannya menurut UU diwajibkan untuk merahasiakannya  (Ps 1909 ay 3 BW). Dalam hal ini notaris mempunyai  kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri notaris tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada notaris. 

 

HAK INGKAR dan KEWAJIBAN INGKAR

“DIBEBASKAN DARI KEWAJIBANNYA MEMBERIKAN KESAKSIAN”

?

(Pasal 1909 Ayat 3 KUHPerdata, Pasal 322 KUHP)

?

WAJIB MERAHASIAKAN

?

(Pasal 4, 16, 54 UUJN)

?

KECUALI : Undang-Undang Menentukan Lain

 

 

Adanya Hak Ingkar tersebut membuat Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.

Pasal 1909 ayat 3 KUH Perdata menyebutkan bahwa   segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayahkan kepadanya sebagai demikian.    

Pasal 170 ayat (1) KUHAP:

(1). Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

(2). Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Ketentuan dalam KUHAP, secara materil dituangkan  Pasal 322 ayat 1 KUH Pidana  yang menyatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaan baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan.

         Selanjutnya beberapa pasal dalam UUJN mengatur mengenai rahasia jabatan Notaris, yaitu: Pasal 4 ayat 2 UU Jabatan Notaris (sumpah jabatan) yang berbunyi:  “….Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.”  Terdapat pula rumusan Pasal 16 ayat  1 huruf a UU JN menyatakan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: a. bertindak jujur,  saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; dan (e)  merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai  dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Penjelasan Pasal  16 ayat (1) huruf e ini menerangkan bahwak Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut Dengan demikian, dalam konteks filosofis, maka rahasia jabatan merupakan bagian dari instrumen perlindungan hak pribadi para pihak yang terkait dengan akta yang dibuat oleh notaris, sehingga tidak dapat direduksi menjadi instrumen untuk semat-mata melindungi notaris.

       Pasal 54 UU Jabatan Notaris  berbunyi “Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta,  ahli waris atau  orang yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”

Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedur  yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan). Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik, kecuali kalau Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum….”

Untuk melihat akta notaris, notaris harus dinilai apa adanya, dan setiap orang harus dinilai benar berkata seperti yang disampaikan yang dituangkan dalam akta tersebut. Notaris dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal seperti yang disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan MA  No.702K/Sip/1973. Notaris hanya berfungsi  mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut.  Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil hal-hal yang dikemukakan para penghadap notaris.

Sepanjang notaris menjalankan jabatan dan profesinya  berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik notaris, dan asas-asas hukum, maka   notaris  tersebut tidak dapat  dipersalahkan.(Syafran Sofyan). Termasuk untuk menjadi saksi, karena akta notaris tersebut sendiri merupakan akta otentik, yakni akta yang mempunyai kebenaran lahir, formil dan materil, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang menyangkalnya. Janganlah belum apa-apa, penyidik dengan gampangnya  memanggil notaris,  sementara para pihaknya saja belum dipanggil ?.

Berkaitan dengan masalah rahasia jabatan notaris, pada intinya berisikan kewajiban notaris merahasiakan isi akta, GHSL Tobing menyatakan sebagai berikut: 

  • Bahwa para notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya apa yang dicantumkan dalam akta-aktanya, akan tetapi juga semua apa yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam akta-aktanya;
  • Bahwa hak ingkar dari para notaris tidak hanya merupakan hak (verschoningsrecht), akan tetapi merupakan kewajiban (verschoningspicht), notaris wajib untuk tidak bicara. Hal ini tidak didasarkan kepada pasal 1909n sub 3 KUHPerdata, yang hanya memberikan kepadanya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, akan tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan pasal 40 PJN.
  • Bahwa di dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan hak ingkar dari para notaris, harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para notaris untuk tidak bicara mengenai isi akta-aktanya, dalam arti baik mengenai yang tercantum dalam akta-aktanya maupun mengenai yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun dimuka pengadilan, kecuali hal-hal dimana terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal dimana untuk itu notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.

Sehubungan dengan penjelasan GHSL Tobing tersebut maka jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 4, 16 dan 54 UUJN maka jelas bahwa untuk merahasiakan isi akta beserta hal-hal yang diberitahukan kepada notaris sehubungan dengan pembuatan akta tersebut adalah merupakan suatu kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan demikian untuk mengundurkan diri sebagai saksi atau menolak untuk memeberikan keterangan sebagai saksi bukan hanya merupakan hak tapi juga merupakan suatu kewajiban bagi notaris. Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan tetapi juga mempunyai kewajiban ingkar (verschoningssplicht).

 

 

 


Notaris-PPAT-Pejabat Lelang di Jakarta Selatan, Majelis Pengawas Daerah Notaris, Dosen : Lemhannas RI, Kementerian Pertahanan, Magister Kenotariatan (Univ Brawijaya, Jayabaya, Untag), Dosen Pasca/S2 Hukum, Bareskrim Mabes Polri, Mabes TNI, Diklat Perbankan, Jimly School at Law and Government ), Nara-sumber Seminar Hukum, Konstitusi, Politik dan Demokrasi, Saksi Ahli, di Pengadilan dan Polri, Pendiri/Ketua Ikatan sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

Email: syafran.dosen@gmail.com Hp.08111986768.